Kenapa Orang Indonesia Malas Membaca Buku? Bukan Karena Bodoh, tapi…

Menurutku, ada satu kalimat yang bikin orang Indonesia langsung defensif kalau dibilang: “Kok orang-orang malas baca buku, sih?” Biasanya jawabannya, “Emang situ pinter?!” atau “Buku tuh mahal, Bro!”

Nah, tenang dulu. Aku nggak sedang nyinyir apalagi ngerasa lebih pintar. Aku juga masih males baca buku, serius. Kalau disuruh baca, yang kebayang itu bukannya ilmu baru, tapi PR tambahan. Jadi wajar banget kalau banyak orang Indonesia akhirnya menganggap buku itu beban. Padahal kalau dipikir-pikir, buku itu kayak powerbank buat otak kita. Bisa bikin hidup lebih terang, asal dipakai.

Dan, aku belajar sesuatu yang lumayan menampar dari sebuah postingan di sosmed—sayangnya aku lupa akunnya siapa (maaf ya, Bang/Mbak). Di situ dia bahas buku klasik How to Read a Book karya Mortimer J. Adler. Ini bukan buku motivasi ala-ala yang isinya “ayo semangat membaca,” tapi buku serius yang ngajarin bukan cuma cara membaca, tapi juga kenapa kita harus membaca. Tapi sayangnya, lagi-lagi ini kata dia, aku belum menemukannya sendiri.

Setelah aku searching di internet, salah satu kutipan yang paling nyantol di kepalaku adalah ini:

"Orang yang bilang dia tahu apa yang dia pikirkan, tapi tidak bisa mengungkapkannya, biasanya tidak tahu apa yang dia pikirkan." Mortimer Adler, Filsuf.

Kutipan ini sederhana tapi dalem banget. Aku langsung mikir: wah, jangan-jangan banyak orang di negeri ini sebenarnya bukan malas mikir, tapi emang nggak punya cukup bahan buat mikir. Karena ya… referensi mereka kebanyakan cuma dari medsos dan headline berita.

Dan ini problem serius. Kalau otak kita sehari-hari cuma disuapin potongan singkat, ya jadinya mikirnya juga potongan. Nggak pernah tuntas.

Kenapa Budaya Baca Kita Masih Rendah?

Oke, biar nggak cuma curhat, aku coba bongkar beberapa alasan kenapa budaya baca di Indonesia itu masih rendah. Ini bukan teori rumit ala akademisi, tapi pengamatan sehari-hari yang mungkin kamu juga ngalamin.

1. Dari kecil, membaca itu dipaksa, bukan dikenalkan

Aku masih ingat waktu SD, setiap kali pelajaran IPS yang membahas tentang kerajaan, guruku bilang: “Besok baca halaman 34, nanti ditanya ya.” Itu bukan ajakan, tapi ultimatum. Hasilnya? Besoknya aku baca sekilas doang, lalu jawab seadanya. Mindset-nya jadi begini: baca = tugas sekolah, bukan petualangan seru.

Padahal kalau dari awal dikenalkan dengan cara yang menyenangkan—misalnya diceritain dongeng dulu, baru diajak baca bukunya—mungkin banyak anak yang tumbuh dengan rasa cinta sama buku.

2. Akses buku berkualitas masih terbatas

Kalau tinggal di kota besar, mau cari buku bagus tinggal jalan ke toko buku atau klik marketplace. Tapi coba bayangin di daerah-daerah yang jauh dari pusat kota. Buku bagus itu barang langka. Perpustakaan sekolah seringnya sepi koleksi, paling banter ada buku terbitan lama yang kadang sampulnya juga sudah lepas.

Kalau akses aja susah, ya wajar orang malas membaca. Sama aja kayak nyuruh orang rajin makan buah, tapi di pasar cuma ada pepaya mentah.

3. Literasi kalah sama hiburan digital

Ini fakta pahit: kenapa harus baca buku 300 halaman kalau bisa scroll TikTok 30 detik dan udah ketawa? Otak kita secara alami nyari yang cepat, gampang, dan bikin hepi. Dan aku pun kadang kalah sama reels lucu kucing pakai baju Doraemon, misalnya.

Tapi masalahnya, hiburan digital itu jarang ngasih kedalaman. Kita jadi terbiasa dengan informasi kilat, bukan pemahaman mendalam.

4. Lingkungan nggak mendukung budaya baca

Coba jujur: kapan terakhir kali kamu lihat orang dewasa di sekitar kita baca buku dengan santai, bukan karena ujian atau kerjaan? Jarang banget, kan? Lingkungan kita nggak ngasih contoh. Jadi kalau anak-anak lihat orang tuanya lebih sering nonton sinetron daripada baca, ya mereka ikut-ikutan.

Budaya itu menular. Kalau lingkungannya malas baca, ya efeknya ke kita juga.

5. Sistem pendidikan fokus ke ujian, bukan pemahaman

Yang penting nilai bagus, bukan ngerti. Maka lahirlah generasi yang bisa menghafal tapi bingung kalau ditanya makna. Inilah kenapa banyak orang baca cuma buat lulus ujian, bukan buat nambah wawasan.

Jadi, Solusinya Apa?

Aku bukan Menteri Pendidikan, tapi aku percaya ada beberapa hal kecil yang bisa kita lakukan supaya budaya baca ini nggak makin punah.

1. Ubah cara pandang: buku itu bukan beban

Jangan pikir buku itu selalu harus serius. Mulailah dari yang sesuai minat. Suka bola? Cari biografi atlet. Suka masak? Cari buku resep. Suka gosip artis? Eh, ada juga loh buku-buku tentang industri hiburan. Intinya: bacaan apapun lebih baik daripada nggak baca sama sekali.

2. Latih pelan-pelan

Nggak harus langsung baca 300 halaman. Mulai dari 10 halaman per hari. Sama kayak olahraga, otot baca juga butuh pemanasan. Lama-lama pasti kuat.

3. Jadikan membaca bagian dari gaya hidup

Kalau bisa, coba bikin ritual kecil: baca buku sebelum tidur, atau bawa satu buku ke tas ke mana pun pergi. Jadi setiap ada waktu senggang, buka buku, bukan HP.

4. Bangun komunitas kecil

Baca itu lebih seru kalau dibagi. Bisa bikin klub baca kecil-kecilan bareng teman atau keluarga. Kalau ada yang bisa diajak diskusi, bacaan kita jadi lebih hidup.

5. Jadi contoh, sekecil apapun

Kalau kamu orang tua, guru, atau kakak, tunjukin kalau baca itu menyenangkan. Anak-anak lebih gampang meniru daripada disuruh.

Kenapa Membaca Itu Penting?

Karena membaca bukan cuma soal menambah pengetahuan, tapi juga melatih cara berpikir. Orang yang rajin membaca biasanya lebih jernih dalam menyampaikan ide. Sebaliknya, kalau jarang membaca, kita cenderung asal ngomong tanpa arah.

Ingat kutipan Adler tadi: orang yang bilang tahu apa yang dia pikirkan, tapi nggak bisa mengungkapkan, sebenarnya nggak benar-benar tahu apa yang dipikirkan.

Dan aku percaya, di era sekarang, kemampuan berpikir jernih itu ibarat superpower. Bukan kekuatan otot yang bikin orang dihargai, tapi kemampuan menalar dan menjelaskan dengan jelas. Itu semua akarnya ada di kebiasaan membaca.

Penutup

Jadi, kalau ada yang bilang orang Indonesia malas membaca karena bodoh—aku nggak setuju. Masalahnya bukan di otak, tapi di kebiasaan dan lingkungan. Kita nggak pernah benar-benar dikenalkan bahwa membaca itu bisa jadi sumber kebahagiaan, bukan sekadar kewajiban.

Kalau boleh aku simpulkan: buku itu bukan beban, tapi bensin untuk nalar dan jiwa kita. Dan orang yang mau berpikir, ya harus mau membaca. Sesederhana itu.

Mulailah dari satu halaman hari ini. Karena siapa tahu, satu halaman itu bisa jadi belokan penting dalam hidupmu.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url