Aku lagi capek. Bukan cuma capek badan, tapi juga capek pikiran, capek perasaan, dan mungkin juga capek jadi manusia. Banyak banget yang pengin aku kerjakan. Saking banyaknya, aku malah nggak ngerjain apa-apa. Kayak buka laptop, niatnya mau nulis, eh malah buka YouTube. Dari YouTube pindah ke Instagram, dari Instagram ke TikTok, dan terakhir berakhir di kasur dengan posisi merenung tapi nggak mikir.
Kalau kamu pernah merasa begitu juga, selamat — kita satu server. Server “Galau Tapi Tetap On”.
Kebanyakan Mau, Akhirnya Nggak Jalan
Aku tuh kayak punya 10 tab terbuka di kepala, semuanya penting.
Satu tab tentang kerjaan, satu tentang blog, satu tentang proyek pribadi, satu lagi tentang ide brilian yang cuma brilian di pikiran tapi belum pernah diwujudkan.
Masalahnya, otakku kayak laptop kentang — RAM-nya cuma 2 GB. Jadi pas semua tab terbuka, muncul notifikasi mental: “Not responding.”
Dan biasanya setelah itu aku cuma bisa bengong sambil makan mie instan — comfort food universal bagi orang yang sedang tidak menemukan arah hidupnya.
Rasa Kecewa yang Nggak Masuk Akal
Belum lama ini, aku juga kecewa sama seseorang.
Aku ditawari ikut sesuatu — semacam proyek kolaborasi, ide keren lah pokoknya. Aku udah semangat banget, udah nyiapin konsep, udah mikir jauh ke depan. Eh, tiba-tiba dia bilang, “Maaf ya, kayaknya batal dulu.”
Aku cuma bisa senyum, padahal di dalam hati ada gemuruh halus:
Dan yang paling ajaib, ini udah kejadian dua kali. Sama orang yang sama.
Aku sampai mikir, mungkin aku ini bukan partner, tapi tester beta untuk proyek gagal dia. Rasanya kayak kamu udah siap naik roller coaster, udah pasang sabuk pengaman, udah deg-degan, tapi ternyata wahana ditutup karena “kendala teknis”.
Yaudah, kamu cuma bisa berdiri di bawah, nonton orang lain naik, sambil nyemil popcorn kekecewaan.
Lelah yang Sulit Dijelaskan
Beberapa waktu terakhir, aku merasa lemah, letih, lesu — kayak iklan vitamin zaman dulu yang bilang, “Kurang darah? Minum ini!” Tapi masalahku bukan kurang darah. Aku cuma kelebihan pikiran.
Semua hal mau dipikirin. Semua urusan pengin diselesaikan sekaligus.

*Dahlah capek banget aku bos*
Padahal kadang, yang kita butuhin cuma… berhenti sebentar. Iya, berhenti.
Bukan berarti menyerah, tapi istirahat agar bisa lanjut lagi. Lucunya, aku ini tipe orang yang kalau disuruh istirahat malah mikir, “Tapi nanti ketinggalan.”
Padahal yang dikejar juga nggak jelas siapa. Mungkin aku balapan sama ekspektasiku sendiri.
Analogi Hidup: Kayak HP yang Kelamaan Dicharge
Pernah nggak kamu colok HP semalaman, paginya malah drop 10%? Nah, itu aku. Aku pikir dengan tidur cukup, aku bakal bangun segar.
Tapi begitu bangun, yang segar cuma notifikasi dari grup WA kerjaan. Hidupku kayak HP yang kabel chargernya longgar — udah dicolok, tapi nggak masuk daya.
Makanya, mungkin aku harus ganti cara nge-charge hidupku.
Bukan dengan scrolling media sosial, tapi dengan nggak ngapa-ngapain. Beneran. Duduk diam. Nggak mikir. Nggak merasa bersalah karena istirahat.
Lucunya Jadi Orang yang Terlalu Serius
Aku sadar, aku sering terlalu serius sama hal-hal yang seharusnya bisa ditertawakan.
Misalnya, saat orang lain batalin janji dua kali, aku baper. Padahal bisa aja itu semesta bilang, “Bro, itu bukan jalurmu.” Atau waktu aku ngerasa gagal karena belum bisa menuntaskan semua ideku, padahal ide juga butuh waktu buat matang.
Kalau aku maksa semuanya jadi sekarang, hasilnya malah kayak mie instan yang dimasak buru-buru — setengah matang, tapi sudah telanjur dibumbuin.
Kadang hidup memang lucu.
Kita sibuk ngerencanain banyak hal, padahal Tuhan udah siapin sesuatu yang lebih cocok buat kita — cuma karena belum dikasih lihat, kita pikir Dia lupa.
Obrolan Konyol dengan Diri Sendiri
Kemarin aku sempat ngobrol sama diriku sendiri. (Ya, ini tanda-tanda burnout tingkat menengah.) Aku tanya, “Kamu kenapa sih, lelah banget?”
Diriku menjawab, “Karena kamu maksa terus.”
“Aku maksa apa?”
“Maksa semua harus beres, padahal kamu aja belum beres.” Aku diem.
Karena ternyata diriku sendiri lebih bijak daripada aku. Kadang kita butuh ngobrol sama diri sendiri, bukan buat cari solusi, tapi buat ngingetin kalau kita masih manusia — boleh salah, boleh kecewa, boleh berhenti sebentar tanpa harus merasa gagal.
Kalau Hidup Ini Restoran, Aku Lagi Nunggu Pesanan yang Belum Datang
Analogi lain yang paling pas mungkin ini:
Hidupku kayak lagi di restoran. Aku udah pesan banyak — karier, mimpi, cinta, harapan — tapi pelayannya belum juga datang. Aku nungguin terus, mulai lapar, mulai cemberut, mulai berpikir “Jangan-jangan salah masak?”
Padahal mungkin dapurnya lagi penuh, dan pesananku butuh waktu lebih lama. Tapi karena aku nggak sabaran, aku malah berdiri, marah-marah, terus keluar.
Eh, begitu keluar restoran, pelayannya baru datang bawa semua pesanan. Ironi banget, ya?
Akhirnya Aku Paham: Aku Nggak Harus Kuat Terus
Dulu aku pikir jadi orang hebat itu harus kuat setiap hari.
Sekarang aku sadar, orang hebat itu justru tahu kapan harus ngaku lelah. Nggak apa-apa capek.
Nggak apa-apa bingung.
Nggak apa-apa kecewa dua kali oleh orang yang sama — asalkan kamu nggak menutup hati untuk percaya lagi. Yang penting, jangan berhenti total.
Istirahat boleh, tapi jangan nyerah.
Karena kalau dipikir-pikir, hidup ini kayak nonton sinetron: kadang capek lihat konfliknya, tapi kita tetap penasaran sama ending-nya.
Penutup: Aku Nggak Tahu Harus Ngasih Saran Apa, Tapi Aku Mau Bertahan
Aku jujur aja — aku belum tahu harus ngasih saran apa buat diriku sendiri.
Tapi aku tahu satu hal: aku nggak mau berhenti di sini. Aku boleh lagi down, tapi aku masih punya sedikit tenaga buat berdiri.
Masih punya niat buat nulis, meski cuma satu paragraf sehari.
Masih punya tawa buat diri sendiri, walau kadang rasanya hambar. Dan mungkin, itu sudah cukup.
Karena di antara letih, lesu, dan kecewa, aku masih mau hidup dengan penuh rasa ingin tahu.
Kalau besok belum bahagia, ya nggak apa-apa.
Yang penting aku masih mau nyoba.
PS: Kalau kamu juga lagi capek, mungkin kita bisa bikin klub: Perkumpulan Orang yang Bingung Tapi Tetap Hidup. Syaratnya cuma satu — jangan menyerah dulu sebelum minum kopi.