Formula Nulis Novel Biar Nggak Nyerah di Tengah Jalan
Aku sering dengar keluhan dari teman yang pengin nulis cerita atau novel, tapi berhenti di tengah jalan. Bukan karena nggak punya ide, tapi karena bingung: alur ceritanya mau dibawa ke mana? Hal tersebut jadi wajar, karena aku juga sering ngalamin.
Jangan salah, nulis cerita itu memang susah-susah gampang. Gampangnya sekali, susahnya dua kali. Gampang karena semua orang bisa menulis apa saja. Susah karena nggak semua tulisan bisa bikin pembaca betah sampai akhir.
Nah, hari ini aku nemu satu formula yang menurutku bisa jadi jalan ninja buat kita semua yang pengin menulis dengan lebih terarah. Teori ini memang bukan jaminan novelmu langsung jadi best seller, tapi setidaknya bisa bikin kamu punya pegangan alur.
Kalau kamu serius mau jadi penulis, simak baik-baik. Dan kalau habis baca ini ngerasa dapat pencerahan, coba mampir ke Instagram @kelas.lenteraliterasi. Siapa tahu, di sana kamu bisa nemu banyak insight yang bikin tulisanmu makin matang.
Eksposisi
Kebanyakan penulis pemula sering salah kaprah di bagian awal. Mereka langsung ngebut ke konflik, padahal pembaca belum kenal siapa tokohnya.
Bayangin kamu masuk ke sebuah pesta. Tiba-tiba ada orang teriak, “Tolong! Ada pencuri!” Sementara kamu belum tahu siapa yang datang, siapa tuan rumahnya, bahkan kamu baru aja taruh sepatu di rak. Rasanya aneh, kan?
Eksposisi itu penting karena:
-
Kamu perkenalkan tokoh utama.
-
Kamu tunjukkan dunia cerita yang jadi arena permainan.
-
Kamu kasih gambaran suasana, biar pembaca punya pijakan.
Tapi jangan sampai eksposisi jadi kayak ceramah sejarah. Bukan berarti harus dijelasin semua detail. Kasih secukupnya, sambil bikin pembaca penasaran. Bingung kan? Coba baca poin berikutnya dulu.
Rising Action
Kalau di eksposisi semua masih adem ayem, di bagian rising action inilah masalah pertama muncul. Nah, masalah ini jangan remeh. Harus ada guncangan yang bikin tokoh nggak bisa hidup santai lagi.
Contoh gampang: tokohmu baru pindah kerja. Awalnya baik-baik saja, sampai dia sadar ada satu senior yang nggak suka padanya. Mulai dari sinilah percikan konflik bisa kamu bangun.
Formula rising action bisa kamu pikirkan kayak gym untuk cerita. Bebannya makin berat, tantangannya makin sulit, dan tokohmu harus berjuang. Pembaca pun mulai ikut deg-degan karena merasakan tekanan itu.
Climax, Ahhhh!
Kalau rising action adalah pemanasan, maka climax adalah pertandingan final.
Di sinilah cerita harus mencapai titik paling panas. Konflik yang sudah kamu bangun dari awal harus pecah di sini. Kalau dari tadi pembaca kamu tarik-tarik ke atas, di bagian ini mereka harus ngerasain jantung berdegup kencang.
Contoh: tokohmu yang tadinya di-bully, akhirnya memutuskan melawan. Atau seorang detektif yang dari awal mencari pelaku, akhirnya harus menghadapi si penjahat secara langsung.
Climax bukan cuma tentang adegan besar seperti duel pedang, tembak-tembakan, atau tangisan haru di tengah hujan. Climax itu soal taruhan terbesar bagi tokoh. Apa yang dia perjuangkan bisa hilang kalau gagal.
Falling Action
Banyak penulis pemula terlalu semangat bikin climax, lalu lupa menurunkan tensi. Hasilnya? Pembaca kayak naik roller coaster tapi ditinggal di puncak, nggak pernah dikasih turun.
Falling action ini kayak pendinginan setelah olahraga. Harus ada. Kalau nggak, pembaca bisa kelelahan.
Di sinilah kamu tunjukkan dampak dari klimaks. Apa yang berubah? Apa yang hilang? Siapa yang terluka? Bagian ini bikin cerita punya napas, nggak cuma “dor-dor selesai.”
Resolution
Kalau aku boleh jujur, aku agak alergi sama cerita yang selesai tapi tokohnya nggak belajar apa-apa. Kayak hidupnya balik lagi kayak sebelum cerita dimulai.
Cerita yang bagus harus punya transformasi tokoh. Entah dia jadi lebih bijak, lebih kuat, atau justru hancur tapi dengan cara yang bermakna.
Resolusi ini bukan sekadar “the end.” Ini tentang perjalanan batin tokoh yang membuat pembaca ikut merasa puas. Kalau bagian ini berhasil, percayalah: pembaca akan menutup bukumu dengan senyum atau bahkan dengan air mata.
Teori Itu Penting, Tapi Konsistensi Lebih Penting
Aku tahu, banyak dari kita suka ngulik teori menulis. Dari struktur tiga babak, hero’s journey, sampai teori snowflake. Semua itu bagus, tapi jangan sampai kamu terjebak di teori doang.
Karena pada akhirnya, yang bikin kamu jadi penulis bukan teori, tapi kebiasaan menulis.
Novel bagus itu lahir dari tangan yang nggak berhenti menulis, bukan dari kepala yang cuma sibuk berpikir.
Maka, selain ngerti teori, biasakan tanganmu menari di atas keyboard atau pena. Jangan terlalu takut salah. Salah itu bagian dari perjalanan.
Belajar Bareng di Lentera Literasi
Kalau kamu ngerasa masih butuh teman seperjalanan, aku sarankan buat follow akun @kelas.lenteraliterasi.
Kenapa? Karena di sana kamu bisa nemu konten yang membedah teori-teori menulis dengan gaya yang sederhana dan gampang dipraktikkan. Nggak ribet, nggak bikin kepala mumet.
Kadang kita memang butuh lingkungan yang bikin semangat tetap hidup. Menulis itu perjalanan panjang. Kalau sendirian, gampang banget nyerah. Tapi kalau ada komunitas dan sumber belajar, perjalanan itu jadi lebih ringan.
Jadilah Penulis yang Menyelesaikan Ceritanya
Menulis novel bukan cuma soal ide brilian, tapi juga soal disiplin. Banyak orang hebat tumbang bukan karena kurang pintar, tapi karena nggak konsisten.
Kalau kamu punya satu cerita, jangan biarkan dia jadi bangkai di folder laptopmu. Selesaikan. Mau jelek atau bagus, itu urusan nanti. Karena penulis sejati bukan yang punya banyak draft, tapi yang menyelesaikan apa yang dia mulai.
Jadi, jangan berhenti. Jangan ragu. Pegang formula ini, kencangkan otot mentalmu, lalu menulislah.
Dan kalau kamu butuh tambahan bensin buat perjalananmu, ingat: ada Lentera Literasi yang siap nemenin.