Squid Game Season 3 Review

Kalau ada penghargaan untuk serial yang sukses bikin orang mikir sambil merinding, Squid Game jelas masuk daftar atas. Dari awal kemunculannya, serial ini bukan sekadar tontonan survival berbalut darah dan strategi, tapi juga kritik sosial yang dibungkus seperti permen: warna-warni di luar, pahit dan tajam di dalam. Nah, di Season 3 ini, rasa pahitnya makin kuat—kayak minum kopi hitam pakai sedotan bekas.

Sebelum kita bahas lebih dalam, spoiler alert ya. Postingan ini akan mengupas banyak detail cerita. Kalau kamu belum nonton dan masih mau menikmati kejutan, silakan bookmark dulu dan kembali nanti. Tapi kalau kamu tipe orang yang nonton drama sambil buka sinopsisnya dulu, yuk mari kita selami.

Gi-hun dan Misi Mustahil Kembali ke Pulau


Gi-hun, pemenang game di Season 1 yang sempat hidup “enak” dengan uang kemenangan, memutuskan kembali ke arena maut. Alasannya? Ingin membongkar sistem dari dalam. Sebuah niat mulia yang sayangnya didasari asumsi naif: bahwa dia punya kendali. Padahal, seperti kata pepatah lama, “kalau kamu main catur dengan iblis, jangan kaget kalau papan, bidak, dan aturannya semua milik dia.”

Di awal Season 3, kita langsung disambut adegan sadis: para pemberontak dibantai habis-habisan. Tapi twist-nya, kali ini bukan tentara pink biasa yang pegang senjata—melainkan para VIP. Iya, orang-orang super kaya yang biasanya cuma nonton dari balik kaca sekarang turun langsung, pakai kostum dan ikut main. Ini semacam kalau bos perusahaan e-commerce tiba-tiba ikut nganterin paket cuma buat hiburan pribadi.

Pesannya jelas: kekuasaan dan kekayaan yang tak terbatas bisa membuat manusia merasa punya hak atas nyawa orang lain. Dan ketika mereka sudah bosan menonton, mereka ingin merasakan sensasinya sendiri.

Drama Baru, Karakter Baru, Dilema Lama

Di tengah kekacauan, kita dikenalkan dengan karakter baru: No-eul, seorang tentara pink yang diam-diam punya misi pribadi. Ia ingin menyelamatkan Gyeong-seok, mantan rekan kerja yang ikut game demi mengobati anaknya yang sakit kanker. Dari sini kita mulai melihat bahwa tak semua peserta dan petugas di game ini adalah monster. Ada yang terpaksa, ada yang punya alasan, dan ada pula yang berusaha bertahan demi orang yang mereka cintai.


Kontras ini membuat narasi Squid Game semakin manusiawi. Kita tidak hanya melihat “baik vs jahat”, tapi juga manusia vs sistem. Dan sistem ini kejam, tidak kenal ampun, dan selalu mencari cara untuk membuat peserta kehilangan moral demi bertahan hidup.

Bayi sebagai Simbol Harapan dan Kerapuhan

Salah satu momen paling mengejutkan dan menyentuh datang di Episode 2: “The Starry Night”. Jun-he, salah satu peserta, melahirkan bayi di tengah game. Jujur saja, awalnya ini terdengar absurd. Tapi ketika kita melihat reaksi Gi-hun terhadap si bayi, semuanya masuk akal.

Gi-hun yang sebelumnya apatis, trauma, dan seperti kehilangan arah, tiba-tiba menemukan harapan baru. Bayi itu bukan hanya manusia mungil tak berdaya. Ia adalah simbol dari apa yang masih layak diperjuangkan: masa depan, kepolosan, dan kesempatan untuk menebus kesalahan. Dan di dunia sekejam ini, bayi jadi semacam cermin — kalau kita sampai tega menyakitinya, berarti kita sudah benar-benar kehilangan sisi manusiawi kita.

Masalahnya, para VIP justru melihat bayi sebagai pion permainan baru. Mereka menggunakannya sebagai alat hiburan. Di sinilah Squid Game kembali menunjukkan taringnya: bahwa ketika kekuasaan tidak diimbangi empati, maka bahkan yang paling suci pun bisa dijadikan alat eksploitasi.

Akhir yang Tragis Tapi Bermakna

Episode terakhir, “Sky Squid Game,” menjadi klimaks yang mengguncang. Gi-hun, yang sudah kehilangan segalanya, akhirnya memilih mengorbankan dirinya demi menyelamatkan bayi itu. Keputusannya bukan semata karena heroik, tapi karena dia tahu: jika ada satu hal yang bisa dia lakukan untuk memperbaiki semuanya, inilah saatnya.

Adegan ketika dia berkata, “Kita bukan kuda. Kita manusia,” lalu terjun dalam pertandingan terakhir, bukan hanya dramatis, tapi juga filosofis. Kalimat itu mengingatkan kita bahwa manusia bukan alat, bukan mesin, dan bukan pion permainan kapitalisme. Kita punya harga diri, rasa, dan hak untuk hidup bermartabat.

Gi-hun memang tidak selamat. Tapi kematiannya menyelamatkan kehidupan. Sebuah pengorbanan yang membuat penonton termenung — dan mungkin berpikir ulang tentang definisi “menang” dan “kalah”.

Kelemahan dan Kekuatan Season 3

Secara struktur, Season 3 mungkin terasa kurang segar dibanding dua musim sebelumnya. Pola permainan terasa repetitif, dan beberapa karakter tidak mendapatkan eksplorasi mendalam. Tapi kekuatan utama musim ini justru terletak pada lapisan emosional dan sosialnya.

Serial ini menunjukkan bagaimana sistem bisa terus bertahan bukan karena kuat, tapi karena kita membiarkannya. Bahwa kebaikan kadang hanya muncul setelah kita tersudut dan kehilangan segalanya. Dan bahwa harapan bisa muncul di tempat paling tak terduga — bahkan dari seorang penjudi gagal yang pernah tidur di stasiun.

Ending-nya pun bukan sekadar penutup, tapi pembuka. Di adegan terakhir, Front Man muncul di Los Angeles, dan kita melihat Cate Blanchett (iya, Cate Blanchett!) memainkan peran sebagai recruiter dalam slap game. Dunia baru akan dimulai. Format mungkin berubah. Tapi intinya tetap sama: manusia diuji lewat godaan, ketakutan, dan uang.

Refleksi Sebagai Penonton dan Manusia

Sebagai penonton, Squid Game Season 3 mungkin bikin kita tegang, sedih, dan bahkan marah. Tapi lebih dari itu, ia mengajak kita bercermin. Seberapa besar kita rela berkompromi demi bertahan hidup? Apa yang kita anggap “normal” padahal itu menyakiti orang lain? Dan apakah kita masih bisa disebut manusia jika kehilangan empati?

Serial ini tidak menawarkan solusi ajaib. Tapi ia memberikan pesan kuat: bahwa perubahan besar bisa dimulai dari satu tindakan kecil. Satu penolakan terhadap ketidakadilan. Satu pengorbanan. Satu keberanian untuk berkata “cukup.”

Dan kalau kamu merasa hidupmu berat setelah nonton ini, tenang. Setidaknya kamu tidak harus main lompat tali berdarah atau petak umpet dengan sniper. Tapi siapa tahu, besok kita bangun, dan realitas sosial kita tak jauh beda.

Karena pada akhirnya, seperti kata Gi-hun:

“Kita bukan kuda. Kita manusia. Dan manusia… harus memilih untuk tidak menjadi monster.”

Squid Game Season 3 sekarang tayang di Netflix. Tapi ingat, yang paling penting bukan siapa yang bertahan hidup, tapi siapa yang tetap jadi manusia di akhir permainan.

Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url