Sebuah Dilema Guru di Akhir Semester

Sebagai guru, aku udah sering ketemu banyak tipe murid. Yang pinter tapi males, pernah. Yang semangat tapi bandel, pernah. Yang kalem tapi diam-diam jago, pernah. Tapi semester ini, aku ketemu satu tipe yang bikin aku bener-bener bingung sampai gak bisa tidur, yakni murid yang rajin banget masuk… tapi gak bisa apa-apa.


Gambar cuman pemanis

Bukannya mau lebay. Anak ini hadir terus. Gak pernah absen. Bahkan waktu hujan deras dan guru-guru datang setengah telat, dia udah duduk manis di kelas. Tapi setiap kali aku ajak komunikasi, baik tentang pelajaran maupun sekadar ngobrol biasa, responnya bikin aku pengen tengkurap di ruang guru.

Dia bukan anak nakal. Bukan juga anak yang suka bikin keributan. Tapi kayaknya dia sendiri juga gak tahu kenapa dia datang ke sekolah setiap hari. Tatapannya kosong. Pas aku tanya pelajaran yang barusan aku jelasin selama 40 menit, dia malah bilang, “Lupo, Pak!”

Yang bikin aku makin gatal kepala ini adalah: aku tahu dia gak berusaha. Dia gak kabur pas ujian. Gak tidur di kelas. Duduknya depan. Tapi hasilnya? Nol. Tes membaca? Gagal. Tes berhitung? Kosong. Disuruh memberi tanda silang, malah dilingkari. 

Setiap kali aku nilai ulang, pikiranku makin berperang sendiri. "Anak ini rajin. Tapi... kok gini amat?"

Naikin gak ya?

Ini pertanyaan yang muter terus di kepalaku. Kalau aku naikin, rasanya gak adil buat murid lain yang belajar beneran dan menunjukkan progres. Tapi kalau gak aku naikin, aku juga merasa bersalah. Dia kan masuk terus. Duduk manis. Gak rese. Tapi… ya itu tadi. Kayak WiFi tetangga: ada, tapi gak nyambung.

Aku pernah ngobrol sama guru lain soal dia. Jawabannya beragam:

“Ya naikin aja, kasihan, ntar drop out.”

“Kalau semua yang rajin dikasih naik, tanpa lihat hasil, sistem pendidikan jadi apa?”

“Coba ajak ngobrol ortunya…”

Aku udah coba. Orang tuanya juga bingung. Mereka cuma bilang, "Yang penting anaknya gak keluyuran, Pak. Kami udah senang dia bisa disiplin sekolah terus."

Capek Jadi Guru, Tapi Gak Boleh Kelihatan Capek

Ini bulan Juni. Bulan penilaian. Bulan penuh keputusan yang bisa mempengaruhi hidup anak-anak. Tapi jujur, juga bulan paling bikin guru pengen pensiun dini. Karena nilai itu bukan cuma angka. Di balik angka itu, ada banyak cerita. Ada anak yang pinter tapi gak punya fasilitas. Ada yang males karena masalah keluarga. Ada juga yang kayak muridku ini—rajin masuk, tapi gak ngerti apa-apa.

Dan kita, para guru, jadi harus memainkan peran sebagai hakim, psikolog, detektif, dan kadang-kadang juga badut. Di luar kelas, kita mikir: gimana bikin pembelajaran menarik, gimana ngejar target kurikulum, gimana menangani anak yang tantrum, gimana ngadepin orang tua yang suka nyalahin sekolah, dan gimana gak kebawa stres pulang ke rumah.

Padahal ya… kita juga manusia.

Aku kepikiran gini: kalau semua murid yang rajin hadir otomatis naik kelas, berarti tukang kantin juga pantas dapet ijazah. Mereka bahkan hadir lebih pagi daripada murid, ya kan? 

Kita gak bisa memisahkan kehadiran dari hasil. Tapi kita juga gak bisa mengabaikan usaha. Dilema ini terus ada, tiap tahun, dan tiap guru pasti punya versi ceritanya sendiri.

Bahkan sampai di rumah, aku masih mikirin murid itu. Lagi tidur, kepikiran. Lagi makan, keinget. Kadang sambil gosok gigi juga bisa tiba-tiba ngomong sendiri, “Ya Allah, naik gak ya…”

Jadi, Harus Gimana?

Gak ada jawaban pasti. Tapi yang aku tahu, sebagai guru, kita harus tetap waras. Tetap manusiawi. Dan tetap berani mengambil keputusan yang paling logis dan penuh pertimbangan. Kalau aku putuskan untuk gak menaikkan, itu bukan karena dendam atau kejam. Tapi karena aku ingin anak itu sadar bahwa sekolah bukan sekadar hadir, tapi belajar.

Tapi aku juga harus siap menjelaskan ke orang tuanya. Siap dibicarain tetangga. Siap dibilang “Pak Guru galak” di grup WA wali murid. Karena begitulah kerja di sistem yang sering gak dukung guru secara utuh: keputusan besar, tapi semua tanggung jawab di pundak kita.

Penutup

Kadang aku mikir: enak kali ya ngajar kaktus. Gak bisa baca, gak bisa ngitung, tapi gak bikin dilema. Gak perlu naik kelas. Gak perlu kurikulum. Dan yang pasti, gak pernah bikin guru overthinking sampe rumah.

Tapi ya… selama masih ada anak yang butuh guru, aku akan tetap berdiri di depan kelas. Meski tiap akhir semester, kepala rasanya mau meledak, dan hati rasanya kayak mie instan diseduh tanpa bumbu.


Next Post Previous Post
1 Comments
  • Anonim
    Anonim 2 Juni 2025 pukul 11.08

    Mungkin dia se ekor ikan yang memang tidak nyambung kalau di ajak belajar terbang atau manjat pohon 😂

Add Comment
comment url