Sekali Keceplosan, Efeknya Bisa Kayak Teh Tumpah di Rapor

Ngomong “biang kerok” ke anak kelas 4 itu kayak numpahin teh manis ke rapor. Mungkin menurut kita cuma noda kecil, bisa dilap pakai tisu. Tapi bagi anak-anak, itu bisa jadi tragedi nasional. Dia merasa nilai hidupnya kena ceceran teh dari guru yang mestinya jadi pelindung.

Padahal aku cuma panik. Tapi ya itu dia… niat baik kalau disampaikan dengan kata yang salah, bisa jadi luka yang susah dijelaskan.

Hari ini aku capek. Capek fisik, capek pikiran, capek perasaan. Dan capek yang paling dahsyat itu ternyata adalah capek karena salah paham, tapi gak bisa nyalahin siapa pun.

Ini bukan sinetron, tapi nyaris mirip sinetron yang episodenya kayak sumber daya alam yang dapat diperbarui. Gak abis abis. Dan yang lebih miris adalah aku jadi tokoh antagonisnya di sini. Padahal niatku suci. Sesuci jadwal piket yang gak pernah dijalankan sepenuh hati.

H-4 Acara Perpisahan, Hati Udah Dipisah Duluan

Pagi ini anak kelas 4 masih ulangan buat kenaikan kelas, aku sebagai gurunya sebenarnya masih datang dengan semangat. Sambil mengawasi mereka mengerjakan soal ulangan, kutanyai bagaimana persiapan buat tari, karena kelas ini bakal menampilkan persembahan. 

Gambar cuma pemanis

Terus, dari tempat duduk, ada satu suara anak yang nyeletuk:

“Pak, si A susah banget diajak latihan. Gak pernah kumpul!”

Aku refleks jawab, spontan, tanpa filter, pakai energi terakhir dari baterai guru yang udah tinggal 3%:

“Iya, biang kerok banget dia mah.”

Dan, … inilah momen di mana dunia mulai gelap. Sayangnya bukan gelap karena lampu panggung. Tapi karena notif WhatsApp dari wali murid.

WhatsApp yang Lebih Menegangkan dari Tes CPNS

Baru sampai rumah. Baru rebahan setengah pantat. Baru mau buka keripik singkong. Tiba-tiba...

Ting!

“Pak, anak saya pulang menangis. Dia merasa dibully mental karena dipanggil biang kerok oleh gurunya sendiri.”

Jujur, saat itu aku pengin loncat... bukan ke kasur. Tapi ke masa lalu, saat di kelas, sebelum aku nyeplos kata “biang kerok”. Biar bisa narik ucapanku, dan ganti dengan kalimat yang jauh lebih manis. 

Tapi ya sudahlah. Kapan lagi bisa belajar bahwa satu kata bisa bikin seluruh ilmu pedagogikmu runtuh kayak balok Jenga yang disentil ke dasar.

Ngomong “biang kerok” ke anak SD tuh kayak buka tutup oven waktu kuenya belum matang.
Awalnya cuma pengin ngecek, tapi akhirnya malah bikin kue bantet, yang makan jadi kecewa, dan semua orang nyalahin kamu. 

Padahal niatmu cuma pengin bantu biar gak gosong.

Masalahnya Bukan di Kata, Tapi di Waktu dan Emosi

Tapi ini bukan salah si anak. Bukan salah ibunya juga. Ini… ya salahku juga, sih. Tapi bukan sepenuhnya.

Waktu lagi penat, mepet acara, belum makan, denger anak-anak nyeletuk, kadang kalimat yang keluar itu bukan hasil akal sehat, tapi hasil dari:

(Kecemasan x Kelelahan) ÷ Kesadaran diri.

Dan hasilnya?

Kata “biang kerok” yang di hari biasa mungkin cuma lelucon receh, hari ini berubah jadi peluru tajam yang membuat ibu-ibu hilang kepercayaan, bahwa sekolah adalah tempat yang penuh kasih sayang dan pujian manis dari guru.

Seperti Ngelurusin Mi Instan Pakai Penggaris

Pas baca chat wali murid tadi, aku langsung mikir ribuan skenario imajiner di kepala:

  • Kalau aku jelasin, nanti dibilang ngeles.
  • Kalau aku diam, nanti dibilang gak peduli.
  • Kalau aku minta maaf, nanti dianggap ngaku salah.
  • Tapi kalau gak minta maaf, aku merasa nggak pantas jadi guru.

Dilema ini kayak ngerjain soal pilihan ganda yang semua pilihan kayaknya bener, tapi tetep cuma satu pilihan yang paling benar.

Akhirnya, aku putuskan: aku harus mengklarifikasi, tapi dengan empati. Karena jadi guru bukan tentang selalu benar, tapi tentang bisa menjelaskan niat dengan rendah hati.

Karena jujur aja, kalau ada lomba “menyampaikan maksud baik dengan kalimat yang bisa bikin salah paham”, aku kadang ngerasa udah pede jadi pemenangnya.

Guru Juga Manusia, Bos

Guru itu harus sabar. Harus bijak. Harus jadi pendengar yang baik, pemimpin yang adil, dan motivator yang menyenangkan. 

Dan ketika guru mulai meledak, semua orang lupa kalau guru juga manusia.

“Lho, kok guru bisa ngomong gitu?”

Ya karena guru juga bisa lapar, bisa capek, bisa ngomong sebelum mikir.

Selama ini, guru sering dianggap makhluk suci yang gak boleh salah. Padahal ya... aku juga manusia biasa. Kadang ngomong spontan. Kadang overthinking. Kadang ya... pengin tidur 8 jam penuh tanpa mikirin murid.

Dan yang paling melelahkan bukan cuma fisiknya. Tapi lelah mental karena harus jadi pahlawan yang selalu tepat kata, tepat emosi, dan tepat respons. Setiap kalimat harus steril dari potensi disalahpahami. Padahal dalam hati kita juga butuh dimengerti.

Semua pengin dimengerti.

Orang tua pengin anaknya diperlakukan dengan lembut.
Guru pengin kerja samanya dihargai.
Anak pengin gak ditekan.

Tapi semuanya pengin jadi pihak yang dipahami duluan.
Dan di tengah itu, seringkali yang capek duluan adalah... yang paling banyak menanggung ekspektasi.

Yaitu kita.
Guru.
Yang kalau salah ngomong dikira jahat.
Kalau diam dikira apatis.
Kalau jujur dikira kurang profesional.
Dan kalau bercanda... dikira membully mental anak.

Apa Aku Akan Minta Maaf? 

Iya, Tapi Bukan Karena Aku Bersalah Sepenuhnya

Aku akan bilang ke anak itu besok:

“Maaf ya, kemarin Pak ngomong ‘biang kerok’. Pak gak bermaksud nyakitin. Pak cuma panik karena waktunya mepet. Tapi kamu tetap bagian penting dari kelompok tari ini, dan Pak yakin kamu bisa.”

Karena memulihkan hati anak jauh lebih penting daripada mempertahankan ego. Dan mengakui kekeliruan bukan berarti kita lemah—justru itu cara guru belajar jadi lebih manusiawi.

Jadi, Apa Hikmahnya?

Ternyata, jadi guru bukan cuma soal ngasih nilai. Tapi juga tentang mengelola persepsi, menjaga hubungan, dan belajar komunikasi empatik.

Kadang satu kata bisa bikin hati retak, meski niat kita 100% baik. Dan dalam dunia pendidikan, niat baik aja gak cukup, harus disampaikan dengan cara yang baik juga.

Aku sadar, mungkin anak itu gak akan ingat semua gerakan tariannya nanti. Tapi dia pasti ingat:
Guru yang pernah keceplosan, tapi dengan rendah hati minta maaf dan tetap percaya padanya.

NB:

Sekarang aku paham kenapa banyak guru suka pelihara tanaman... Karena mereka cuma butuh makhluk hidup yang cukup dikasih air.

Terima kasih telah meluangkan waktu untuk membaca halaman ini. Jika kamu merasa informasi di blog ini bermanfaat, jangan ragu untuk menjelajahi artikel lainnya—siapa tahu, ada topik lain yang juga relevan dan menarik untukmu.
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url