7 Ciri Khas Muratara yang Bikin Kamu Pengen Langsung ke Sana

Kalau kamu pernah denger nama Muratara tapi masih bingung itu nama makanan, daerah, atau jenis motor, tenang... kamu nggak sendiri. Dulu aku juga gitu. Tapi setelah kenalan lebih dekat, ternyata ciri khas Muratara itu banyak banget dan bener-bener bikin penasaran. Muratara, atau Musi Rawas Utara, adalah salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Selatan yang usianya masih muda (resmi berdiri tahun 2013). Tapi soal budaya, tradisi, sampai makanannya, bisa dibilang udah "senior" dan kaya banget. Jadi, yuk kita kulik bareng!

Adat dan Tradisi yang Masih Kental

Muratara punya sederet adat istiadat yang nggak cuma unik tapi juga sarat makna. Salah satunya adalah tradisi Mandi Darah di Desa Pauh. Meski terdengar menyeramkan, ini bukan acara horor. Mandi darah dilakukan sebagai bentuk syukur dan pembayaran nazar, misalnya karena berhasil lulus kuliah, dapat jodoh, atau lolos ujian CPNS (iya, serius). Tradisi ini melibatkan penyembelihan hewan dan darahnya digunakan untuk mandi secara simbolis—kayak bersih-bersih diri dari hal-hal buruk sebelumnya.

Selain itu, ada juga tradisi Meruah menjelang Ramadan. Masyarakat berkumpul untuk berdoa bersama, membaca Yasin, dan menikmati makanan bareng. Nuansanya hangat banget, kayak reuni keluarga besar—cuma bedanya ini versi spiritual. Tradisi ini menegaskan betapa pentingnya kebersamaan dan rasa syukur dalam kehidupan masyarakat Muratara.

Bahasa dan Suku Asli Muratara

Di Muratara, kamu bisa menemukan keberagaman suku seperti Suku Rawas, Suku Semangus, dan lainnya. Mereka punya bahasa daerah sendiri yang mirip Bahasa Musi atau dialek Palembang, tapi tentu dengan logat dan istilah khas. Sebagai orang luar, aku sempat bengong waktu denger orang sana ngomong cepet-cepet pakai dialek lokal. Tapi justru itu daya tariknya—bahasa di sini adalah bagian penting dari identitas budaya.

Yang keren lagi, meski modernisasi sudah masuk, anak muda di Muratara masih banyak yang ngerti dan pakai bahasa daerah dalam obrolan sehari-hari. Ini bukti nyata kalau mereka bangga sama akar budaya sendiri.

Kesenian dan Budaya Lokal

Kesenian tradisional di Muratara juga nggak kalah menarik. Salah satunya adalah tarian Bujang Ngen Gades, yang biasanya ditampilkan saat acara-acara resmi atau hajatan besar. Gerakannya halus tapi kuat, menggambarkan semangat dan keharmonisan laki-laki dan perempuan dalam adat.

Ada juga tradisi Nandai, yaitu semacam sastra lisan atau puisi yang dibacakan malam hari, biasanya saat pesta pernikahan. Uniknya, Nandai ini bisa berlangsung dari habis Isya sampai subuh—ngalahin lembur skripsi! Isinya bisa tentang nasihat hidup, cinta, atau cerita rakyat, dan biasanya dibawakan dengan iringan musik tradisional. Buat yang suka budaya, ini tontonan sekaligus pelajaran hidup.

Kuliner Khas Muratara yang Bikin Ngiler


Sekarang kita masuk ke bagian yang paling aku suka: makanan! Serius, kuliner di Muratara itu juara. Salah satunya adalah Gulai Jerok, masakan berbahan dasar jeroan sapi atau kambing yang dimasak dengan rempah melimpah. Rasanya gurih dan agak pedas, cocok banget buat lidah orang Indonesia.

Ada juga Roti Kemang, peninggalan zaman Belanda yang masih bertahan sampai sekarang. Bentuknya mirip roti isi kelapa parut dan gula merah—manis, lembut, dan cocok buat teman ngopi. Oh iya, jangan lupa cobain Bubur Durian yang disajikan hangat dengan santan dan gula aren. Ini bukan cuma makanan, tapi semacam pelukan manis dalam bentuk cair.

Kalau kamu penggemar ikan, Ikan Sepit Bakar dan Pindang Patin wajib dicoba. Ikan sepit dibakar pakai bambu, aromanya nendang banget. Pindang patin? Ah, ini comfort food sejati—kuah asam pedasnya bisa nyembuhin hati yang habis ditolak doi.

Gaya Hidup dan Kebiasaan Unik

Masyarakat Muratara terkenal ramah dan punya semangat gotong royong tinggi. Di desa-desa, budaya saling bantu masih hidup banget. Misalnya kalau ada yang mau bangun rumah atau hajatan, tetangga bakal datang bantu tanpa diminta. Bagi mereka, membantu itu bukan beban, tapi bagian dari hidup bermasyarakat.

Gaya hidup ini tercermin juga dalam cara mereka merayakan hari besar. Nggak ada yang individualistis. Semua bareng-bareng, dari nyiapin makanan sampai bersih-bersih masjid. Kadang aku mikir, kota-kota besar perlu belajar dari Muratara soal solidaritas.

Penutup

Jadi, setelah ngobrol panjang lebar, bisa kita simpulkan kalau ciri khas Muratara itu bukan cuma satu atau dua hal. Ada budaya yang kuat, tradisi yang masih lestari, bahasa daerah yang unik, kesenian yang hidup, dan makanan yang enak-enak banget. Muratara mungkin belum sepopuler destinasi wisata lain, tapi justru itu kelebihannya—authentic, asli, dan belum banyak tersentuh gimik. Dan buat aku, itu alasan kenapa Muratara patut dilestarikan dan diperkenalkan lebih luas lagi.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url